So, hal pertama yang menantang bagi saya adalah merasakan ibadah puasa di tempat yang tidak pernah saya bayangkan. Alih-alih bisa menemukan masjid dan makanan halal di kota ini, saya justru menemukan banyak ketidaksukaan saya pada kota ini. Panas dan lembab, berisik oleh banyaknya kendaraan, padat penduduk, pokoknya saya seperti seolah-olah sedang kembali ke Jakarta. Setiap pagi saya harus berjalan kaki menyusuri padatnya jalanan pinggiran kota Shanghai untuk mencapai kampus dari hotel tempat saya menginap. Peliknya saya harus melewati beberapa perempatan padat kendaraan. Setelah beberapa bulan tinggal di Sydney, saya jadi terbiasa untuk taat aturan selama di jalan. Tetapi saat di Shanghai kemarin, saya seperti sedang berada di Jakarta. Meskipun lampu hijau khusus pejalan kaki sebenarnya disediakan, tapi anehnya setiap kendaraan yang berbelok tidak berhenti. Para pejalan kaki termasuk saya harus berhati-hati dan memastikan tidak ada kendaraan yang akan berbelok. Selain itu, pengendara sepeda motor di kota ini sebagian besar (bahkan hampir semua) tidak menggunakan helm! Mereka juga bebas melaju tanpa mempertimbangkan warna lampu lalu lintas. Bahkan meskipun sudah disediakan jalanan khusus motor, mereka tetap bandel melawan arus. Aduh, persis lah ya dengan kesemrawutan jalanan di Jakarta. Teman kuliah saya pun sampai terkaget-kaget.
"Look! They are crazy!", sautnya setiap hari. He he he, saya cuma bisa tertawa.
|
Suasana jalanan dan pemukiman di sekitar hotel saya tinggal. |
|
Beberapa mobil yang melintas di sepanjang jalanan menuju kampus. |
|
Suasana trotoar di pinggir jalan yang dipenuhi toko-toko. Langsung teringat dengan Jakarta :) |
|
Suasana pagi di salah satu perempatan jalan menuju kampus. Ramai oleh pengendara mobil, motor dan sepeda. |
Selama program
Summer School ini berlangsung, alhamdulillah saya mendapat banyak teman. Tidak hanya mahasiswa lokal dari berbagai provinsi di China, tetapi juga beberapa mahasiswa internasional yang sama seperti saya. Di antara dari mereka berasal dari Malawi, Ghana dan Vietnam. Hanya saja, sempat ada kekhawatiran dalam diri saya, susah tidak ya berkomunikasi dengan mahasiswa-mahasiswa lokal ini? Pasalnya, bahasa Inggris mereka pun tidak terlalu mudah dimengerti. Bukan bermaksud untuk sombong, tapi pada kenyataannya saya memang mengalami kesulitan berkomunikasi lho selama di sana. Untuk makan dan membeli sesuatu saja, saya lebih banyak menggunakan bahasa tubuh. Selain itu, teman satu grup presentasi saya juga ada yang tak terlalu bisa berbahasa Inggris. Alhasil, tiap berdiskusi dengan kelompok saya ini, saya akan meminta tolong salah satu dari mereka untuk menterjemahkan hasil diskusi kami untuknya, atau sebaliknya. Hmm, repot memang, tapi itu dia seninya. Alhamdulillah saya selalu sabar, puasa he he he.
|
Teman-teman satu grup presentasi saya :) |
|
Suasana saat diskusi. Mereka diskusi dulu dalam bahasa Mandarin, lalu salah seorang menterjemahkannya pada saya :p |
Hal lain yang menantang selama mengikuti program ini adalah saya adalah satu-satulah mahasiswa yang berpuasa pada saat itu. Sebenarnya hal ini tak terlalu sulit bagi saya. Tantangan terberat mungkin ketika harus berpuasa di musim panas dengan perbedaan lama puasa yang cukup signifikan dengan di Sydney. Saya harus menahan rasa haus, lapar dan hawa nafsu selama 16 jam lamanya. Tentu saja dengan suasana udara yang panas dan peluh yang hampir tiap hari menetes dari balik jilbab saya. Wah, luar biasa puasa saya kali ini. Terlebih lagi, hampir setiap hari saya selalu ditanya oleh beberapa teman asal Cina,
"Why are you not eating?". Meskipun sudah berulang kali saya beritahu bahwa saya sedang menahan makan dan minum sejak matahari terbit hingga terbenam, mereka tetap bertanya, dan kadang yang menyebalkan adalah ketika mereka mengasihani saya. Aduh,
please teman-teman, jangan mengasihani saya. Ini adalah kewajiban saya sebagai muslim. Tapi saya tetap memaklumi. Mungkin banyak dari mereka yang tidak tahu apa itu puasa Ramadan, bahkan apa itu Islam. Indahnya ya, saya seperti diberikan kesempatan oleh Allah untuk berdakwah. Setiap mereka menanyakan hal-hal menyangkut ibadah puasa saya atau penampilan saya yang berbeda dari mereka, saya pasti akan cerita mengenai Islam. Masya Allah... :)
|
Gerbang utama kampus, Fudan University. |
|
Gedung School of Public Health, Fudan University |
|
Kantin halal di kampus. Alhamdulillah, jadi favorit kebanyakan mahasiswa di sana. |
Cerita soal makanan, alhamdulillah saya tidak terlalu banyak mengalami kesulitan selama di sana. Jadi, kampus ternyata menyediakan kantin halal bagi mahasiswa muslim. Lokasinya pun berdekatan dengan asrama mahasiswa internasional. Meskipun menunya terbatas, cuma ada kedai mie dan makanan siap saji ala warteg, saya sebenarnya sudah sangat senang. Selain makanannya yang menurut saya enak, tempat ini juga ternyata jadi favorit kebanyakan mahasiswa lokal. Berhubung sedang puasa, jadi saya hanya bisa membeli makanan selepas kuliah. Itu pun tidak bisa makan di tempat, alias harus dibungkus untuk dibawa pulang. Pasalnya jam berbuka puasa atau waktu sholat Maghrib setempat adalah sekitar pukul 19.00, sementara kelas sudah selesai sejak pukul 17.00. Tak apalah. Yang penting saya bisa menyantapnya secara gratis, cukup tunjuk makanan yang saya mau (maklum persoalan bahasa) lalu bayar menggunakan kartu dengan cara ditap. Selama program berlangsung, seluruh mahasiswa memperoleh kartu berisi uang yang dipergunakan untuk membeli makanan dan barang-barang kebutuhan sehari-hari di kantin dan mini market kampus. Kartu itu pun nantinya dikembalikan saat program selesai. Jadi, bisa dibayangkan 'kan kagetnya teman saya saat melihat nominal sisa uang yang ada di kartu saya masih banyak. Maklum puasa, jadi jarang makan.. he he he :)
|
Menu makanan yang saya beli di kantin halal kampus. Sederhana tapi nikmat. |
|
Ayam goreng pedas (spicy chicken) favorit yang selalu saya makan. Aduh kangen.. |
Program Summer School ini sepertinya sudah menjadi agenda tahunan Fudan University. Kami tidak hanya mempelajari filosofi dan sejarah dibentuknya MDGs, tapi kami juga mempelajari tiap target di dalam MDGs. Seluruh materinya pun diberikan oleh para dosen menggunakan bahasa Inggris. Tidak hanya itu, kami juga diberikan tugas kelompok berupa presentasi kelompok mengenai kasus malnutrisi di salah satu daerah di Afrika. Jadi kami diberikan studi kasus yang sama, namun diminta mempresentasikan proposal proyek bernilai 1 juta dollar untuk mengatasi permasalahan tersebut. Uniknya, tugas ini dikompetisikan. Jadi ada hadiah bagi kelompok yang proposalnya terpilih sebagai juara. Seru ya... Selain itu, hal yang saya sukai dari program ini adalah kegiatan field trip ke beberapa pusat kesehatan ibu dan anak di distrik Pudong, Shanghai. Kami berkunjung ke tiga tempat, mulai dari Maternal and Child Health Care Centre, Rumah Sakit tipe B dengan fasilitas MCH yang mumpuni, serta salah satu Primary Health Care dan Village Health Post di distrik tersebut.
|
Kunjungan ke Maternal and Child Health Care Centre. Para tenaga medis berpakaian pink bersiap untuk jadi guide kami. |
|
Suasana di loket pendaftaran. |
|
Lokasi selanjutnya, Rumah Sakit tipe B yang luasnya udah sama dengan RSCM. |
|
Suasana di ruang rawat jalan ibu dan anak. |
|
Lokasi ketiga, Primary Health Care. |
|
Ruang poli anak. |
|
Lokasi terakhir, Village Health Post, yang sepintas mirip Puskesmas di Indonesia. Ayo, saya dimana? :) |
|
Ruangan khusus penyuluhan yang hampir ada di setiap Village Health Post, lengkap dengan media sosialiasi. |
Untuk melepas penat dari rutinitas kuliah setiap hari dari pagi hingga sore, saya dan beberapa teman internasional pun menikmati kota Shanghai di waktu pekan. Kami menghabiskan waktu berjalan-jalan menyinggahi beberapa tempat wisata yang katanya wajib dikunjungi di Shanghai, seperti Yu Yuan Garden, Shanghai Old Street dan The Bund. Yu Yuan Garden dan Shanghai Old Street letaknya berdekatan. Sementara Yu Yuan Garden terkenal dengan keindahan taman khas Cina yang konon dibuat oleh seorang pebisnis Cina yang kaya raya, sementara Shanghai Old Street adalah tempat yang harus didatangi jika kita ingin belanja souvenir khas negeri Tiongkok. Mulai dari tas, baju, sepatu, lukisan, pajangan hingga batu permata dijual di sana. Sayangnya, tak semua lho produk Cina itu murah. Menurut saya barang-barang souvenir yang dijual di daerah ini bervariasi, ada yang mahal dan ada juga yang cukup murah. Berhubung cuaca kota Shanghai di akhir pekan kemarin kurang bersahabat, kami pun hanya bisa berjalan-jalan di hari sabtu. Minggu depannya baru kami menyambangi The Bund, salah satu tempat di mana kami bisa melihat Pearl Tower, landmark kota Shanghai. Kami sengaja pergi di malam hari agar bisa melihat keindahan cahaya di sekitar tempat tersebut. Meskipun malam itu suasana sangat ramai oleh pengunjung, tapi kami tetap senang setelah melihat pemandangan yang terhampar di seberang Sungai Huangpu. Bagus!
|
Gerbang masuk menuju Yu Yuan Garden |
|
Pusat pertokoan dan penjualan souvenir di sisi kiri dan kanan jalan menuju Yu Yuan Garden |
|
Yu Yuan Garden yang indah. |
|
Jalanan di Shanghai Old Street. Berasa lagi di dalam film Cina terkenal, he he he. |
|
Gedung Oriental Pearl Tower yang sangat fenomenal. Aduh, indahnya malam itu. |
|
Lokasi The Bund yang bermandikan cahaya lampu. :) |
Puas menikmati kota Shanghai di akhir pekan dan di beberapa hari terakhir sebelum pulang, saya sebenarnya masih menyimpan banyak cerita he he he. Hari terakhir adalah hari dimana kompetisi presentasi project proposalnya dilaksanakan. Kelompok saya pun mempresentasikan konsep berupa penelitian RCT (Randomised Controlled Trial) tentang penggunaan RUTF (Ready to Use Therapeutic Food) pada sejumlah sampel balita gizi buruk di Oromiya, Afrika. Meskipun konsep kami dinilai baik dari segi ilmiah, sayangnya, kami tidak terpilih sebagai kelompok terbaik. Tapi saya sudah cukup senang dengan prestasi dan hasil dari usaha teman-teman di kelompok saya. Mengingat bagaimana susahnya saya berkomunikasi dengan mereka karena masalah bahasa, he he.
Cerita lain yang mungkin jadi cerita terakhir saya kemarin adalah ketika saya masih dikasih kesempatan sama Allah untuk mengeksplorasi Shanghai selama sehari. Akibat kejadian yang tidak mengenakkan yang dilakukan oleh pihak maskapai penerbangan China Eastern kepada saya dan beberapa penumpang dengan rute menuju Sydney dan Melbourne, penerbangan kami akhirnya diundur satu hari. Kami pun tidak dapat diberangkatkan sesuai jadwal akibat kesalahan sistem penjualan tiket yang membuat kami tidak kebagian kursi. Inilah kali pertama saya bingung sendirian di negara orang karena tidak bisa pulang. Subhanallahu, betul-betul cobaan. Ponsel saya pun pada saat itu mati dan tidak ada tempat untuk mencharge baterai. Saya hanya bisa pasrah karena tidak bisa menghubungi siapa-siapa. Tapi alhamdulillah, semua bisa teratasi. Saya pun mendapat kompensasi termasuk penginapan gratis oleh pihak maskapai. Sesampainya di penginapan, saya baru bisa menghubungi orang-orang terdekat termasuk salah satu pihak panitia dari Fudan University.
Hari berikutnya saya masih harus dihadapkan dengan waktu menunggu keberangkatan pesawat yang terbilang cukup lama. Karena cuma ada satu penerbangan di jam yang sama, yakni pukul 20.20 waktu setempat, saya pun memutuskan untuk menghabiskan waktu berplesir mengelilingi kota Shanghai sekali lagi seorang diri. Mencoba memberanikan diri, saya mengunjungi beberapa tempat yang kemarin belum sempat saya datangi. Saya pergi dengan berbekal gambar peta perjalanan kereta bawah tanah (subway) yang sudah saya unduh malam sebelumnya di penginapan. Maklum saja, selama di Shanghai saya tidak membeli kartu sim card untuk ponsel. Saya hanya mengandalkan jaringan wifi yang tersedia gratis selama di kampus dan hotel tempat saya menginap kemarin. Selama perjalanan, saya tidak merasa khawatir. Pasalnya, saya sudah pernah pergi menggunakan kereta di hari sebelumnya bersama teman saya asal Harbin, Cina. Jadi saya cukup mengerti bagaimana cara membeli tiket dan berganti jalur kereta di stasiun. Sisa perjalanan pun saya tempuh dengan berjalan kaki. Wah saya layaknya seorang turis backpacker yang kesepian, ha ha ha..
|
Foto selfie saya di Jing'an Temple. Huaa, panasnya siang itu. |
|
Kereta magnet Maglev dari Pudong airport menuju Longyang Metro Station |
|
Interior di dalam kereta Maglev. |
|
Ramainya pusat perbelanjaan terbesar di Shanghai, East Nanjing Road |
|
Bangunan mushala yang tiba-tiba muncul di depan mata. Masya Allah :) |
|
Gerbang depan mushala. |
|
Mushala di sekitar Shanghai Old Street. Tempat yang selama ini dicari.. :) |
|
Suasana di dalam mushala yang sejuk. Berbeda dengan panasnya udara di luar. |
|
Alhamdulillah akhirnya bisa sholat di mushala itu sesaat sebelum kembali ke bandara. Saya sungguh terharu.. :(( |
Beberapa tempat yang saya kunjungi di antaranya Jing'an Temple yaitu salah satu kuil terbesar di Shanghai, kawasan perbelanjaan East Nanjing dan Shanghai Old Street untuk kedua kalinya. Saya juga tak lupa mencoba menaiki kereta magnet super cepat Maglev saat berangkat dari bandara maupun saat kembali untuk pulang. Dengan membeli tiket pp seharga 80 RMB (Chinese Yuan), saya sudah bisa merasakan sensasi menaiki kereta yang kecepatannya mirip dengan kereta peluru itu. Waktu tempuh dari bandara ke pusat kota yang berjarak kurang lebih 20 km saja cuma 8 menit. Masya Allah, seru! Hal yang tentu saja tidak akan pernah saya lupa lagi adalah bagaimana saya akhirnya menemukan sebuah mushala saat berkunjung ke Shanghai Old Street. Itu pun satu jam sebelum saya harus kembali lagi ke bandara. Kenapa kemarin saat saya ke sana bersama teman-teman nggak nemu ya? Wallahu a'lam. Yang pasti tiba-tiba saja saya berdiri di depan gedung itu dan perhatian saya teralihkan ke kubah kecil yang ada di atasnya. Saya benar-benar bersyukur bisa sholat di tempat tersebut. Saya juga melihat beberapa wanita Cina muslim berjilbab seperti saya. Masya Allah, saat itu perasaan saya antara senang, sedih, haru campur jadi satu, mengingat pengalaman yang sudah terjadi selama di Shanghai. Seusai beribadah, saya pun berjalan melihat beberapa pertokoan untuk terakhir kali lalu kembali ke bandara. Alhamdulillah, perjalanan kembali ke Sydney malam itu lancar meskipun penerbangan sempat
delay selama satu jam.
Panjang juga ya cerita perjalanan saya ini. Sebenarnya masih ada hal menarik lainnya yang saya alami. Tapi cukuplah sampai di sini. Intinya, saya benar-benar bersyukur memperoleh pengalaman fisik maupun spiritual selama di Shanghai. Pengalaman yang tentu saja, unforgettable, kalau kata salah satu teman saya. Semoga pengalaman serupa bisa dirasakan teman-teman, terutama teman-teman sesama hijabi.
Do not ever worry of what you possibly can't do and face, because it is always be possible for Allah and He will always be there for you. :)