Saturday, August 9, 2014

KUE SAGU KEJU (CASSAVA STARCH COOKIES WITH CHEESE)


Halo sobat semua!


Kalian suka keju? Kali ini saya akan berbagi resep favorit saya, yaitu kue sagu keju. Saya suka sekali sama kue ini. Rasanya tidak hanya manis gurih tetapi teksturnya juga garing-garing crunchy gitu. Setiap lebaran, ibu saya pasti selalu menyediakan kue ini khusus untuk saya, paling tidak minimal satu toples. Berhubung kue ini relatif sulit dalam proses pembuatannya, oleh karena itu ibu saya selalu membelinya. 

Nah, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, tahun ini saya harus merayakan lebaran jauh dari keluarga. Satu hal yang paling mencolok perbedaannya adalah saya tidak membantu ibu saya membuat kue. Selain itu, toko atau usaha yang menjual kue lebaran juga sangat sedikit di sini. Saking rindunya saya sama masakan rumah, alhasil saya memutuskan untuk membuat kue lebaran sendiri. Apalagi saya dapat lungsuran tepung sagu tani dari salah satu teman saya yang sudah kembali ke tanah air, he he he. Alhamdulillah banget. Jadi tergoda kan membuat kue sagu keju sendiri. Seperti biasa, karena keterbatasan alat (tidak ada mikser), saya hanya menggunakan whisk dan otot tangan saya yang kuat untuk mengocok, he he he. Tapi saat itu saya juga dibantu oleh dua orang teman saya, Ika dan Emmi. 

Hmm, kalau untuk hasilnya, sejauh ini saya puas. Kuenya enak, lumayan garing crunchy dan manis, lumayan.. sesuai dengan yang biasa saya makan di rumah. Apalagi saya membuatnya dengan menambahkan sedikit bubuk kayu manis. Bukannya narsis lho, alhamdulillah beberapa teman yang sudah mencicipi juga suka. Tapi resep ini saya peroleh dari internet lalu saya modifikasi lagi sedikit biar adonan dan rasanya pas. Maklum saja, saya terbilang masih novelty dalam dunia baking. :) Penasaran? Yuk disimak resepnya.
Bahan-bahan:

500 gr atau 5 cup tepung sagu tani
1 sdm bubuk kayu manis (resep asli: 2 lbr daun pandan)
150 gr atau 3/4 cup margarin
100 gr atau 1/2 cup mentega
250 gr atau 2 cup gula halus atau gula kastor
2 butir kuning telur
250 gr atau 2 cup keju edam yang sudah diparut
100 ml santan kental

Cara membuat:
  1. Siapkan bahan-bahan yang dibutuhkan dan takar sesuai ukuran yang diperlukan.
  2. Sangrai campuran tepung sagu dan bubuk kayu manis dengan api kecil sambil diaduk sesekali agar tepung tidak cepat gosong. Jika ingin mengikuti resep asli, bubuk kayu manisnya diganti dengan daun pandan dan dimasak hingga daun terlihat layu. Maklum, daun pandan di sini agak susah dicari. 
  3. Jika tepung sudah mulai terlihat sedikit kecoklatan, matikan api dan angkat lalu diamkan hingga suhu tepung kembali dalam suhu ruangan.
  4. Sementara itu, kocok margarin dan mentega hingga lembut, lalu masukkan gula halus. Kocok hingga rata. 
  5. Tambahkan kuning telur satu per satu lalu kocok kembali hingga rata. Jika kalian menggunakan mikser, maka matikan mikser. 
  6. Saat adonan sudah tercampur rata, masukkan parutan keju lalu aduk dengan spatula. Kemudian masukkan tepung sagu secara bertahap ke dalam adonan sambil diaduk. 
  7. Terakhir tambahkan santan kental kemudian aduk kembali.
  8. Siapkan plastik segitiga atau alat spuit (yang biasa digunakan untuk membuat kue semprit). Gunting bagian ujung plastik lalu pasang spuit bentuk bintang. Masukkan adonan ke dalam plastik sebanyak kurang lebih sepertiga bagian, jangan terlalu penuh. 
  9. Semprotkan adonan ke dalam loyang kue yang sudah dialasi baking paper atau diolesi mentega. Panggang kue dalam oven selama kurang lebih 40-45 menit. Karena tekstur kue yang mudah meleber di atas loyang, usahakan tiap semprot adonan tidak terlalu besar. 
  10. Setelah kue matang, keluarkan lalu dinginkan sejenak sebelum dihidangkan.
Selamat mencoba ya! :)

*Resep kurang lebih untuk 2-3 toples

Saturday, August 2, 2014

MY JILBAB TRAVELER'S DIARY (PART 1)

Foto bersama dengan ketua program, para dosen, asisten dosen dan teman-teman. I was the only one who used hijab :)


Assalammu'alaikum.

Siapa tak kenal kota Shanghai di Cina? Saya tidak pernah bermimpi suatu hari bisa ke kota tersebut, apalagi ke Cina. Tapi, alhamdulillah sekitar tiga minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi kota yang pernah dijuluki "Paris in the East". Huaa, senang banget akhirnya bisa mengunjungi salah satu kota terbesar di negeri Tirai Bambu.

Jadi ceritanya saya alhamdulillah terpilih menjadi perwakilan mahasiswa dari University of Sydney untuk mengikuti Summer School Program tentang Millennium Development Goals (MDGs) di Fudan University selama dua minggu, 7-18 Juli 2014. Saya pun ke sana tidak sendiri. Saya berangkat dengan salah seorang teman kuliah sesama mahasiswa di USyd. Kabar keikutsertaan saya pada program ini pertama kali saya peroleh melalui email yang dikirimkan oleh dosen sekaligus Ketua Jurusan saya. Saat itu, saya benar-benar tidak menyangka. Dari begitu banyak mahasiswa yang mengambil mata kuliah Foundations of International Health, mata kuliah yang diajarkan oleh dosen saya tersebut, saya dan teman saya tadilah yang terpilih. Hal lainnya adalah saya juga tidak harus mengeluarkan uang sepeser pun untuk program tersebut. Biaya perjalanan termasuk akomodasi dan makan selama di sana sepenuhnya ditanggung oleh pihak penyelenggara. Asyik ya? Iya, saya betul-betul  bersyukur dengan kesempatan yang saya raih ini.
Oke lanjut ceritanya. Jadi sebenarnya kenapa saya kasih judul "My Jilbab Traveller's Diary" itu karena saya ingin mengenang pengalaman saya berpergian sebagai hijabi dan tentu saja sebagai kaum minoritas. Kita tahu penduduk muslim di Cina itu tidak banyak. Kebanyakan dari mereka tinggal di sekitar wilayah utara Cina. Hmm, sebenarnya saya juga sekarang sedang tinggal di negara yang kaum muslimnya minoritas, tapi entah kenapa banyak hal unik dan tak terduga yang saya rasakan selama di Shanghai. Apalagi jarang sekali saya lihat wanita berhijab selama di sana. Saya pernah berpikir jangan-jangan hanya saya nih, he he he.

So, hal pertama yang menantang bagi saya adalah merasakan ibadah puasa di tempat yang tidak pernah saya bayangkan. Alih-alih bisa menemukan masjid dan makanan halal di kota ini, saya justru menemukan banyak ketidaksukaan saya pada kota ini. Panas dan lembab, berisik oleh banyaknya kendaraan, padat penduduk, pokoknya saya seperti seolah-olah sedang kembali ke Jakarta. Setiap pagi saya harus berjalan kaki menyusuri padatnya jalanan pinggiran kota Shanghai untuk mencapai kampus dari hotel tempat saya menginap. Peliknya saya harus melewati beberapa perempatan padat kendaraan. Setelah beberapa bulan tinggal di Sydney, saya jadi terbiasa untuk taat aturan selama di jalan. Tetapi saat di Shanghai kemarin, saya seperti sedang berada di Jakarta. Meskipun lampu hijau khusus pejalan kaki sebenarnya disediakan, tapi anehnya setiap kendaraan yang berbelok tidak berhenti. Para pejalan kaki termasuk saya harus berhati-hati dan memastikan tidak ada kendaraan yang akan berbelok. Selain itu, pengendara sepeda motor di kota ini sebagian besar (bahkan hampir semua) tidak menggunakan helm! Mereka juga bebas melaju tanpa mempertimbangkan warna lampu lalu lintas. Bahkan meskipun sudah disediakan jalanan khusus motor, mereka tetap bandel melawan arus. Aduh, persis lah ya dengan  kesemrawutan jalanan di Jakarta. Teman kuliah saya pun sampai terkaget-kaget. "Look! They are crazy!", sautnya setiap hari. He he he, saya cuma bisa tertawa.

Suasana jalanan dan pemukiman di sekitar hotel saya tinggal.


Beberapa mobil yang melintas di sepanjang jalanan menuju kampus.

Suasana trotoar di pinggir jalan yang dipenuhi toko-toko. Langsung teringat dengan Jakarta :)

Suasana pagi di salah satu perempatan jalan menuju kampus. Ramai oleh pengendara mobil, motor dan sepeda.

Selama program Summer School ini berlangsung, alhamdulillah saya mendapat banyak teman. Tidak hanya mahasiswa lokal dari berbagai provinsi di China, tetapi juga beberapa mahasiswa internasional yang sama seperti saya. Di antara dari mereka berasal dari Malawi, Ghana dan Vietnam. Hanya saja, sempat ada kekhawatiran dalam diri saya, susah tidak ya berkomunikasi dengan mahasiswa-mahasiswa lokal ini? Pasalnya, bahasa Inggris mereka pun tidak terlalu mudah dimengerti. Bukan bermaksud untuk sombong, tapi pada kenyataannya saya memang mengalami kesulitan berkomunikasi lho selama di sana. Untuk makan dan membeli sesuatu saja, saya lebih banyak menggunakan bahasa tubuh. Selain itu, teman satu grup presentasi saya juga ada yang tak terlalu bisa berbahasa Inggris. Alhasil, tiap berdiskusi dengan kelompok saya ini, saya akan meminta tolong salah satu dari mereka untuk menterjemahkan hasil diskusi kami untuknya, atau sebaliknya. Hmm, repot memang, tapi itu dia seninya. Alhamdulillah saya selalu sabar, puasa he he he.

Teman-teman satu grup presentasi saya :)

Suasana saat diskusi. Mereka diskusi dulu dalam bahasa Mandarin, lalu salah seorang menterjemahkannya pada saya :p

Hal lain yang menantang selama mengikuti program ini adalah saya adalah satu-satulah mahasiswa yang berpuasa pada saat itu. Sebenarnya hal ini tak terlalu sulit bagi saya. Tantangan terberat mungkin ketika harus berpuasa di musim panas dengan perbedaan lama puasa yang cukup signifikan dengan di Sydney. Saya harus menahan rasa haus, lapar dan hawa nafsu selama 16 jam lamanya. Tentu saja dengan suasana udara yang panas dan peluh yang hampir tiap hari menetes dari balik jilbab saya. Wah, luar biasa puasa saya kali ini. Terlebih lagi, hampir setiap hari saya selalu ditanya oleh beberapa teman asal Cina, "Why are you not eating?". Meskipun sudah berulang kali saya beritahu bahwa saya sedang menahan makan dan minum sejak matahari terbit hingga terbenam, mereka tetap bertanya, dan kadang yang menyebalkan adalah ketika mereka mengasihani saya. Aduh, please teman-teman, jangan mengasihani saya. Ini adalah kewajiban saya sebagai muslim. Tapi saya tetap memaklumi. Mungkin banyak dari mereka yang tidak tahu apa itu puasa Ramadan, bahkan apa itu Islam. Indahnya ya, saya seperti diberikan kesempatan oleh Allah untuk berdakwah. Setiap mereka menanyakan hal-hal menyangkut ibadah puasa saya atau penampilan saya yang berbeda dari mereka, saya pasti akan cerita mengenai Islam. Masya Allah... :)

Gerbang utama kampus, Fudan University.

Gedung School of Public Health, Fudan University

Kantin halal di kampus. Alhamdulillah, jadi favorit kebanyakan mahasiswa di sana.

Cerita soal makanan, alhamdulillah saya tidak terlalu banyak mengalami kesulitan selama di sana. Jadi, kampus ternyata menyediakan kantin halal bagi mahasiswa muslim. Lokasinya pun berdekatan dengan asrama mahasiswa internasional. Meskipun menunya terbatas, cuma ada kedai mie dan makanan siap saji ala warteg, saya sebenarnya sudah sangat senang. Selain makanannya yang menurut saya enak, tempat ini juga ternyata jadi favorit kebanyakan mahasiswa lokal. Berhubung sedang puasa, jadi saya hanya bisa membeli makanan selepas kuliah. Itu pun tidak bisa makan di tempat, alias harus dibungkus untuk dibawa pulang. Pasalnya jam berbuka puasa atau waktu sholat Maghrib setempat adalah sekitar pukul 19.00, sementara kelas sudah selesai sejak pukul 17.00. Tak apalah. Yang penting saya bisa menyantapnya secara gratis, cukup tunjuk makanan yang saya mau (maklum persoalan bahasa) lalu bayar menggunakan kartu dengan cara ditap. Selama program berlangsung, seluruh mahasiswa memperoleh kartu berisi uang yang dipergunakan  untuk membeli makanan dan barang-barang kebutuhan sehari-hari di kantin dan mini market kampus. Kartu itu pun nantinya dikembalikan saat program selesai. Jadi, bisa dibayangkan 'kan kagetnya teman saya saat melihat nominal sisa uang yang ada di kartu saya masih banyak. Maklum puasa, jadi jarang makan.. he he he :)

Menu makanan yang saya beli di kantin halal kampus. Sederhana tapi nikmat.

Ayam goreng pedas (spicy chicken) favorit yang selalu saya makan.  Aduh kangen..
Program Summer School ini sepertinya sudah menjadi agenda tahunan Fudan University. Kami tidak hanya mempelajari filosofi dan sejarah dibentuknya MDGs, tapi kami juga mempelajari tiap target di dalam MDGs. Seluruh materinya pun diberikan oleh para dosen menggunakan bahasa Inggris. Tidak hanya itu, kami juga diberikan tugas kelompok berupa presentasi kelompok mengenai kasus malnutrisi di salah satu daerah di Afrika. Jadi kami diberikan studi kasus yang sama, namun diminta mempresentasikan proposal proyek bernilai 1 juta dollar untuk mengatasi permasalahan tersebut. Uniknya, tugas ini dikompetisikan. Jadi ada hadiah bagi kelompok yang proposalnya terpilih sebagai juara. Seru ya... Selain itu, hal yang saya sukai dari program ini adalah kegiatan field trip ke beberapa pusat kesehatan ibu dan anak di distrik Pudong, Shanghai. Kami berkunjung ke tiga tempat, mulai dari Maternal and Child Health Care Centre, Rumah Sakit tipe B dengan fasilitas MCH yang mumpuni, serta salah satu Primary Health Care dan Village Health Post di distrik tersebut.

Kunjungan ke Maternal and Child Health Care Centre. Para tenaga medis berpakaian pink bersiap untuk jadi guide kami.

Suasana di loket pendaftaran.

Lokasi selanjutnya, Rumah Sakit tipe B yang luasnya udah sama dengan RSCM. 

Suasana di ruang rawat jalan ibu dan anak.

Lokasi ketiga, Primary Health Care.

Ruang poli anak.

Lokasi terakhir, Village Health Post, yang sepintas mirip Puskesmas di Indonesia. Ayo, saya dimana? :)

Ruangan khusus penyuluhan yang hampir ada di setiap Village Health Post, lengkap dengan media sosialiasi.

Untuk melepas penat dari rutinitas kuliah setiap hari dari pagi hingga sore, saya dan beberapa teman internasional pun menikmati kota Shanghai di waktu pekan. Kami menghabiskan waktu berjalan-jalan menyinggahi beberapa tempat wisata yang katanya wajib dikunjungi di Shanghai, seperti Yu Yuan Garden, Shanghai Old Street dan The Bund. Yu Yuan Garden dan Shanghai Old Street letaknya berdekatan. Sementara Yu Yuan Garden terkenal dengan keindahan taman khas Cina yang konon dibuat oleh seorang pebisnis Cina yang kaya raya, sementara Shanghai Old Street adalah tempat yang harus didatangi jika kita ingin belanja souvenir khas negeri Tiongkok. Mulai dari tas, baju, sepatu, lukisan, pajangan hingga batu permata dijual di sana. Sayangnya, tak semua lho produk Cina itu murah. Menurut saya barang-barang souvenir yang dijual di daerah ini bervariasi, ada yang mahal dan ada juga yang cukup murah. Berhubung cuaca kota Shanghai di akhir pekan kemarin kurang bersahabat, kami pun hanya bisa berjalan-jalan di hari sabtu. Minggu depannya baru kami menyambangi The Bund, salah satu tempat di mana kami bisa melihat Pearl Tower, landmark kota Shanghai. Kami sengaja pergi di malam hari agar bisa melihat keindahan cahaya di sekitar tempat tersebut. Meskipun malam itu suasana sangat ramai oleh pengunjung, tapi kami tetap senang setelah melihat pemandangan yang terhampar di seberang Sungai Huangpu. Bagus!

Gerbang masuk menuju Yu Yuan Garden

Pusat pertokoan dan penjualan souvenir di sisi kiri dan kanan jalan menuju Yu Yuan Garden

Yu Yuan Garden yang indah.

Jalanan di Shanghai Old Street. Berasa lagi di dalam film Cina terkenal, he he he.
Gedung Oriental Pearl Tower yang sangat fenomenal. Aduh, indahnya malam itu.
Lokasi The Bund yang bermandikan cahaya lampu. :)

Puas menikmati kota Shanghai di akhir pekan dan di beberapa hari terakhir sebelum pulang, saya sebenarnya masih menyimpan banyak cerita he he he. Hari terakhir adalah hari dimana kompetisi presentasi project proposalnya dilaksanakan. Kelompok saya pun mempresentasikan konsep berupa penelitian RCT (Randomised Controlled Trial) tentang penggunaan RUTF (Ready to Use Therapeutic Food) pada sejumlah sampel balita gizi buruk di Oromiya, Afrika. Meskipun konsep kami dinilai baik dari segi ilmiah, sayangnya, kami tidak terpilih sebagai kelompok terbaik. Tapi saya sudah cukup senang dengan prestasi dan hasil dari usaha teman-teman di kelompok saya. Mengingat bagaimana susahnya saya berkomunikasi dengan mereka karena masalah bahasa, he he. 

Cerita lain yang mungkin jadi cerita terakhir saya kemarin adalah ketika saya masih dikasih kesempatan sama Allah untuk mengeksplorasi Shanghai selama sehari. Akibat kejadian yang tidak mengenakkan yang dilakukan oleh pihak maskapai penerbangan China Eastern kepada saya dan beberapa penumpang dengan rute menuju Sydney dan Melbourne, penerbangan kami akhirnya diundur satu hari. Kami pun tidak dapat diberangkatkan sesuai jadwal akibat kesalahan sistem penjualan tiket yang membuat kami tidak kebagian kursi. Inilah kali pertama saya bingung sendirian di negara orang karena tidak bisa pulang. Subhanallahu, betul-betul cobaan. Ponsel saya pun pada saat itu mati dan tidak ada tempat untuk mencharge baterai. Saya hanya bisa pasrah karena tidak bisa menghubungi siapa-siapa. Tapi alhamdulillah, semua bisa teratasi. Saya pun mendapat kompensasi termasuk penginapan gratis oleh pihak maskapai. Sesampainya di penginapan, saya baru bisa menghubungi orang-orang terdekat termasuk salah satu pihak panitia dari Fudan University. 

Hari berikutnya saya masih harus dihadapkan dengan waktu menunggu keberangkatan pesawat yang terbilang cukup lama. Karena cuma ada satu penerbangan di jam yang sama, yakni pukul 20.20 waktu setempat, saya pun memutuskan untuk menghabiskan waktu berplesir mengelilingi kota Shanghai sekali lagi seorang diri. Mencoba memberanikan diri, saya mengunjungi beberapa tempat yang kemarin belum sempat saya datangi. Saya pergi dengan berbekal gambar peta perjalanan kereta bawah tanah (subway) yang sudah saya unduh malam sebelumnya di penginapan. Maklum saja, selama di Shanghai saya tidak membeli kartu sim card untuk ponsel. Saya hanya mengandalkan jaringan wifi yang tersedia gratis selama di kampus dan hotel tempat saya menginap kemarin. Selama perjalanan, saya tidak merasa khawatir. Pasalnya, saya sudah pernah pergi menggunakan kereta di hari sebelumnya bersama teman saya asal Harbin, Cina. Jadi saya cukup mengerti bagaimana cara membeli tiket dan berganti jalur kereta di stasiun. Sisa perjalanan pun saya tempuh dengan berjalan kaki. Wah saya layaknya seorang turis backpacker yang kesepian, ha ha ha.. 

Foto selfie saya di Jing'an Temple. Huaa, panasnya siang itu. 

Kereta magnet Maglev dari Pudong airport menuju Longyang Metro Station


Interior di dalam kereta Maglev.

Ramainya pusat perbelanjaan terbesar di Shanghai, East Nanjing Road

Bangunan mushala yang tiba-tiba muncul di depan mata. Masya Allah :)

Gerbang depan mushala.

Mushala di sekitar Shanghai Old Street. Tempat yang selama ini dicari.. :)

Suasana di dalam mushala yang sejuk. Berbeda dengan panasnya udara di luar. 

Alhamdulillah akhirnya bisa sholat di mushala itu sesaat sebelum kembali ke bandara. Saya sungguh terharu.. :((

Beberapa tempat yang saya kunjungi di antaranya Jing'an Temple yaitu salah satu kuil terbesar di Shanghai, kawasan perbelanjaan East Nanjing dan Shanghai Old Street untuk kedua kalinya. Saya juga tak lupa mencoba menaiki kereta magnet super cepat Maglev saat berangkat dari bandara maupun saat kembali untuk pulang. Dengan membeli tiket pp seharga 80 RMB (Chinese Yuan), saya sudah bisa merasakan sensasi menaiki kereta yang kecepatannya mirip dengan kereta peluru itu. Waktu tempuh dari bandara ke pusat kota yang berjarak kurang lebih 20 km saja cuma 8 menit. Masya Allah, seru! Hal yang tentu saja tidak akan pernah saya lupa lagi adalah bagaimana saya akhirnya menemukan sebuah mushala saat berkunjung ke Shanghai Old Street. Itu pun satu jam sebelum saya harus kembali lagi ke bandara. Kenapa kemarin saat saya ke sana bersama teman-teman nggak nemu ya? Wallahu a'lam. Yang pasti tiba-tiba saja saya berdiri di depan gedung itu dan perhatian saya teralihkan ke kubah kecil yang ada di atasnya. Saya benar-benar bersyukur bisa sholat di tempat tersebut. Saya juga melihat beberapa wanita Cina muslim berjilbab seperti saya. Masya Allah, saat itu perasaan saya antara senang, sedih, haru campur jadi satu, mengingat pengalaman yang sudah terjadi selama di Shanghai. Seusai beribadah, saya pun berjalan melihat beberapa pertokoan untuk terakhir kali lalu kembali ke bandara. Alhamdulillah, perjalanan kembali ke Sydney malam itu lancar meskipun penerbangan sempat delay selama satu jam.

Panjang juga ya cerita perjalanan saya ini. Sebenarnya masih ada hal menarik lainnya yang saya alami. Tapi cukuplah sampai di sini. Intinya, saya benar-benar bersyukur memperoleh pengalaman fisik maupun spiritual selama di Shanghai. Pengalaman yang tentu saja, unforgettable, kalau kata salah satu teman saya. Semoga pengalaman serupa bisa dirasakan teman-teman, terutama teman-teman sesama hijabi. 

Do not ever worry of what you possibly can't do and face, because it is always be possible for Allah and He will always be there for you. :)

Friday, August 1, 2014

BINAR MATA ARIOLA

"Aduh, cantiknya!"
"Iya. Dia memang cantik."
Aku mengangguk seraya memandangi selembar brosur pertunjukkan teater dengan seksama. Kulihat wajah seorang pesohor terkenal terpampang jelas di halaman muka. Dia cantik dan tampak mempesona. Wajahnya yang persegi dihiasi sepasang mata bulat dan sebuah lesung pipi di pipi kanannya. Kulitnya putih mengilap. Pantas saja jika temanku itu terbuai dibuatnya.
"Bagaimana Adam? Jadi tidak kita menonton pertunjukkan itu besok malam?", tanya temanku yang berdiri di sebelahku, masih memandangi gambar artis favoritnya itu.
"Oke... apa salahnya.", aku mengiyakan ajakannya sambil melempar senyuman jahil.
"Nah! Gitu dong..". Dia pun senang bukan kepalang. "Kapan lagi 'kan kita bisa melihat dia tampil. Oke kalau begitu. Besok kita bertemu di tempat biasa aja ya. Kali ini gue deh yang bawa mobil. Lo duduk manis aja, nanti gue jemput."
"Sip!" 
Kami pun akhirnya berpisah dan pergi meninggalkan gedung teater sore itu. Karena hari itu aku tidak bawa kendaraan, kuputuskan untuk menaiki bus hingga ke rumah. Jarak lokasi teater tadi dengan rumahku terbilang tak terlalu jauh. Jadi aku tak terlalu khawatir dengan padatnya lalu lintas. 

Sesampainya di rumah, entah mengapa aku masih penasaran dengan sosok artis idaman temanku itu. Ron, biasa aku memanggil temanku tersebut, sudah dua bulan terakhir ini menjadi pengagum rahasianya. Aku pun baru mengenal sosok salah satu bintang teater kenamaan itu berapa minggu terakhir, sejak pertunjukkan fenomenalnya yang berjudul "Rinduku yang Tak Pernah Padam" menjadi bulan-bulanan perbincangan kaum adam. 

Selepas mengganti pakaian, aku lantas menyambangi meja kerjaku. Aku diam-diam mulai mencari tahu tentang jati dirinya di internet.    
"Ariola... Stephanie... oke, klik", sautku sambil menuliskan nama panjang artis itu pada kotak pencarian di halaman Google.
Tak berapa lama, beberapa situs internet berisi namanya bermunculan di layar komputerku. Ada sekitar dua juta hasil pencarian yang ditemukan. Astaga, sudah seterkenalkah itu dia? Kenapa aku tidak pernah memperhatikannya ya? Jangan-jangan aku terlalu sibuk mengurusi bisnis agen perjalanan baruku. Rasa penasaranku pun berlanjut. Aku membuka tiap halaman situs yang berisikan tentang kehidupannya. Aku membaca tiap artikel itu dengan agak teliti. Rasanya ada yang tak asing dari dirinya. 

Ah, benar saja! Dia teman satu kampusku tujuh tahun silam.
"Hmm. Masa iya...", bisikku dalam hati.
Aku lantas mengambil album kenangan semasa kuliah dari dalam kabinet di dekat meja kerja. Aku membuka halamannya satu per satu, memperhatikan tiap foto yang tertempel di album tersebut. 
"Stephanie...? Stephanie...!"
Sungguh terkejutnya aku. Aku menemukan foto seorang wanita yang parasnya tak jauh berbeda dengan Ariola. Astaga! Dia memang Ariola. Matanya sama bulatnya, ditambah lesung pipi yang sama persis dengan milik Ariola, terletak di bagian pipi kanannya. Namun, aku tetap menemukan perbedaan dalam diri Ariola, atau Stephanie kala itu. Dia masih menggunakan kacamata dan rambutnya masih ikal sebahu. Bentuk tubuhnya pun masih padat berisi, belum langsing seperti sekarang. 
"Ya Tuhan. Dia benar-benar Ariola."
Aku masih tak percaya artis yang dikagumi Ron itu adalah teman kuliahku. Yang lebih membuatku tak habis pikir adalah aku tiba-tiba teringat bagaimana hubungan pertemanan di antara kami berdua. Dia adalah salah satu perempuan yang cintanya pernah aku tolak. Yup, pernah aku tolak. Sebenarnya dulu aku tak terlalu mengenal sosoknya. Dia adalah mahasiswa biasa dan tidak pernah terlibat dalam kegiatan apa pun. Sementara aku sudah sibuk berorganisasi sejak tahun pertama perkuliahan. Tapi anehnya entah mengapa aku tak pernah menyukainya. Hingga pada akhirnya dia menyatakan perasaannya kepadaku, tepat saat malam keakraban di tahun kedua. Aku menolaknya. Ya, aku menolaknya dengan alasan yang klise, karena ingin berkonsentrasi pada kuliah. Alasan yang menurutku cukup bisa diterima dibandingkan harus berkata jujur bahwa tak ada perasaan cintaku terhadapnya.
 "Ah.. nyesel gue..."
Aku sungguh menyesal, menyesal karena tak menerima cintanya. Dan aku menyesal tak membiarkan diriku mengenalnya lebih jauh. Jika saja aku menerima cintanya saat itu, mungkin saja kami masih bersama sampai detik ini. Atau, bahkan bisa saja kami sudah menikah. Akan tetapi, pada kenyataannya sekarang aku masih sendiri alias masih menjomblo.
"Yah... mungkin memang gue nggak berjodoh sama dia.", ucapku lirih, berusaha menerima kesalahan diri sendiri.
Malam makin larut. Aku sampai lupa makan malam karena terlalu asyik memandangi wajahnya di album tersebut. Aku lama-lama terkantuk dan seketika tertidur di atas sofa.

***
"Ya ampun antriannya... Gila!"
Aku dan Ron baru tiba di depan pintu gerbang teater. Sejumlah orang sudah tampak berbaris rapi mengantri untuk masuk ke dalam gedung. Kami pun turut berdiri di barisan paling belakang.
"Lo yakin udah dibawa kan tuh tiket, bro?", tanya Ron soal tiket.
"Tenang, udah sampai lima kali mungkin gue cek. Nih...", jawabku seraya mengambil dua tiket pertunjukkan dari dalam saku kemejaku. 
"Sip...", balasnya. "Ngomong-ngomong, tumben lo rapi hari ini, bro?", tanya Ron kembali. Kali ini dia memperhatikanku dari ujung rambut hingga kaki.
"Ya masa lo aja yang boleh tampil keren. He he he...", ucapku sambil tertawa.
"Wah udah mulai suka kayaknya lo sekarang ya. Gawat nih gue ada saingan", balas Ron lagi sambil menyeringai. 
 "Yah.. let's see!"
Antrian tak berapa lama terurai dan kami pun perlahan-lahan memasuki gedung pertunjukkan. Kami sangat beruntung hari itu karena mendapatkan dua tiket VVIP dengan harga super murah. Pasalnya Ron sudah berupaya mati-matian memperoleh tiket istimewa itu agar bisa melihat artis idamannya tersebut hanya dalam jarak beberapa langkah darinya. Aku sungguh bersyukur. Kami pun duduk di barisan paling depan tapi tidak tepat di tengah panggung. Ah, tak apalah! Walau bagaimana pun, aku tetap akan bisa melihat Stephanie dengan jelas lalu-lalang di hadapanku. 

20 menit kemudian pertunjukkan pun dimulai. Ruangan mendadak gelap gulita dan riuh tepuk tangan seketika menggema dalam ruangan. Tak berapa lama cahaya kemerahan muncul dari balik tirai panggung. Sesosok wanita berpakaian hitam menawan dengan kerlipan beberapa butiran berlian yang terhias di antaranya datang dengan diiringi suara latar belakang yang meriah, sama meriahnya dengan tepuk tangan para penonton yang sejak awal sudah meneriaki namanya. Dia sungguh mempesona. Aku benar-benar terbius olehnya dan tak bisa berkata apa-apa. Binar matanya tiba-tiba membawa ingatanku ke masa lalu. Stephanie? Kaulah yang sekarang ada di hadapanku? 

***

Satu setengah jam pertunjukkan pun berlalu. Aku dan Ron hanya bisa terdiam, masih tak percaya dengan apa yang telah kami lihat. Aku setuju dengan pernyataan yang pernah terlontar oleh temanku ini, dia memang luar biasa. Dia tak hanya cantik, tapi aktingnya juga sungguh menarik, penuh dengan penghayatan. Kami yang masih terdiam dan sesekali melempar senyum kecil ini hanya bisa berjalan keluar gedung di antara kerumunan orang yang masih setia membicarakan penampilan Ariola malam itu. Sesampainya di luar gedung, Ron akhirnya buka suara
"Gila! Gila! Keren abis...! Ada ya cewek secantik itu di dunia ini. Aktingnya bro... sumpah keren abis.", seru Ron sambil memegangi bahuku dengan kedua tangannya. Tubuhku terasa berguncang. Aku pun tak kuasa tertawa.
"Ha ha ha.. Ron, kita semua sudah terbius sama dia. Gue akui dia memang super.", balik merangkul bahunya sambil mengajaknya berjalan menuju parkiran. Dia tetap saja bergumam sendiri, mengagumi tiap detail penampilan bintang favoritnya.
Sampai di dalam mobil Ron masih belum bisa berhenti berbicara. Hingga pada akhirnya dia merasa lapar dan memutuskan untuk mengajakku makan malam di restoran barbecue kesukaannya. Aku dengan segera mengiyakan.

(Di dalam restoran)
"Apa? Jadi lo temen kuliahnya Ariola...? Serius?", tanya Ron dengan mata hampir melotot.
"Sayangnya iya...", jawabku pelan.
"Memangnya lo tau dari mana dia temanlo. Ah... dibuat-buat aja mungkin nih.", ucap Ron meragukan. 
"Hmm... kemarin. Gue coba cari tahu soal Ariola di internet. Eh, ketemu deh biografinya. Ya gitu deh.", sautku mencoba menjelaskan. Raut wajah Ron masih menyiratkan ketidaksukaannya mengetahui bahwa diriku mungkin lebih mengenal Ariola daripada dirinya. Tapi aku pun tak berani mengatakan bahwa sesungguhnya Ariola, atau Stephanie kala itu pernah menyukaiku, tapi aku menolaknya.
"Tapi kan gue pun udah lama nggak ketemu sama dia.", ujarku menambahkan.
"Iya sih. Tujuh tahun.", saut Ron sedikit menerima kekalahan. Sesekali dia menyeruput minuman soda yang ada di depannya. 
Setelah selesai menghabiskan makanan yang terhidang di meja, kami pun beranjak meninggalkan restoran. Kebetulan malam itu restoran sedang ramai sehingga Ron terpaksa harus memakirkan mobilnya agak jauh dari lokasi tempat makan. Dia pun pergi meninggalkanku lebih dulu untuk mengambil mobil.
"Tunggu sini Dam. Gue ambil mobil dulu."
"Oke."
Aku memutuskan berdiri menunggunya di pojok dekat dengan pintu restoran. Makin malam ternyata suasana tempat makan barbecue favorit Ron ini makin ramai. Pengunjung pun berduyung-duyung keluar dan masuk restoran. Aku sesekali memperhatikan mereka. Namun tiba-tiba seorang wanita dengan wajah yang sangat familiar mengalihkan pandanganku. Dia tampak sedang berjalan menuju ke arah parkiran. Wajahnya tak begitu jelas, tapi ada beberapa pria berkemeja hitam berjalan di sebelahnya. Karena penasaran, aku pun mengejarnya. Aku berusaha berjalan cepat agar bisa sampai lebih dekat dengannya. Hingga sudah lima langkah jarak kami, aku memanggilnya.
"Stephanie!", teriakku dengan lantang. 
Dia terkejut dan saat itu juga menoleh ke arahku. Aku berusaha mendekatinya lagi. Wajahnya kini tampak jelas. Binar matanya tiba-tiba menusukku. 
"Stephanie!"
"Adam?" 

Tips Untuk Membuat Tamu Rumah Liburan Merasa Senang Di Rumah Anda

Pernahkah Anda memiliki perasaan tidak pasti bepergian ke suatu tempat untuk tinggal bersama keluarga yang tidak Anda kenal dengan baik? ...