Monday, March 30, 2015

27 DAN MAKNA SEBUAH STATUS



Apa yang pertama terpikirkan olehmu ketika usiamu memasuki angka 27? 

Source: www.quickmeme.com

Bagi kebanyakan pria, 27 tahun mungkin adalah saat dimana mereka telah mencapai suatu tahap pendewasaan. Akan tetapi, bagi sebagian wanita, usia 27 bisa bermakna lebih dari itu. Sebuah survei menunjukkan bahwa pria akan mencapai titik usia paling matang pada umur 43 tahun, sedangkan wanita pada usia 32 tahun. Selain itu, pria lebih lama mengalami pendewasaan dibandingkan dengan wanita, yaitu sekitar 11 tahun.

Eh, kenapa saya jadi membahas soal umur ya?
Hmm, sebenarnya tulisan ini berangkat dari pengamatan saya ketika pernah tinggal di luar negeri (baca: Australia). Pasalnya ketika saya kembali ke Indonesia bulan Januari lalu, saya merasa tiba-tiba ada yang mengganjal di benak saya. Bagaimana ya pandangan orang terhadap saya ketika saya kembali berada di tengah-tengah mereka? Sebagian besar dari mereka tentu saja menyambut saya dengan ucapan selamat dan syukur, tapi tak sedikit pula dari mereka yang tampak semangat menanyakan ini: "UDAH SELESAI YA, TERUS KAPAN NIKAH?"

Seolah-olah seperti petir di siang hari bolong (maaf kali ini saya lebay, he he he), saya bingung lho ditanya begitu. Saya pun nggak tahu mau jawab apa. Rasanya jawaban "mohon do'anya" diiringi senyum tipis sudah menjadi jawaban andalan saya (hingga kini). Tapi yang semakin membuat saya kaget adalah ketika mereka mengaitkannya dengan umur: "UMURMU MEMANG BERAPA SIH SEKARANG?" Loh, memang ada apa dengan umur saya? Apa kaitannya?


Jika dibandingkan dengan di Indonesia, pada umumnya orang asing merasa risih jika ditanya tentang perihal tersebut. Bagi mereka itu adalah hal yang sangat privasi dan kurang pantas untuk ditanyakan. Tetapi, saya pun tersadar, saya sudah kembali ke kampung halaman saya sehingga suka tidak suka, pertanyaan itu akan terus ditujukan ke saya. Namun, ketika usia saya mencapai 27 apakah memang sebuah keharusan bagi saya untuk menikah? Apakah status menikah atau tidak menjadi sangat penting?

Jujur saja, saya dulu bercita-cita menikah pada usia 25 tahun. Umum banget ya? Tetapi ternyata Tuhan lebih menginginkan saya untuk lebih dulu bersiap meniti pendidikan yang lebih tinggi di Australia. Menyesal? Tentu saja tidak! Hidup itu pilihan, dan pilihan itu tidak serta merta datang, tetapi Tuhan yang menunjukkan. Lantas, saya masih belum paham oleh makna sebuah status bagi mereka, para wanita (atau mungkin pria) yang sudah mencapai angka 27 dalam hidupnya.

Allah SWT bersabda bahwa manusia menikah jika memang sudah layak menikah.

"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan" (QS. 24:32)

Di samping itu, Allah SWT juga menjanjikan bahwasanya:

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik..." (QS. 24:26)

Bahkan Allah SWT tidak menyebutkan secara rinci batas usia seorang manusia untuk menikah. Seseorang dipersyaratkan menikah hanya jika dia telah memasuki masa baligh. Oleh karena itu, usia berapa pun asalkan seseorang sudah dalam kondisi baligh maka dapat dikatakan sudah siap untuk menikah. Namun mengapa sepertinya status demikian begitu penting di masyarakat, khususnya bagi mereka wanita yang sudah berusia 25 tahun ke atas?

Hmm, hal ini mungkin terkait usia reproduktif seorang wanita yang dimulai sekitar 15 tahun. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jika seorang wanita berhubungan seksual pada usia 20-an, maka dia akan terhindar dari risiko kanker payudara dan ovarium. Selain itu, emosi akan semakin terbentuk saat mulai memasuki usia 20 tahun sehingga menjadi bekal penting bagi kehidupan rumah tangga kelak. Menurut penelitian lain, fertilitas berangsur-angsur menurun pada usia 30-an. Tiga puluh lima tahun juga menjadi batas yang sering digunakan bagi mereka yang ingin memiliki buah hati mengingat salah satu risiko kematian ibu didasari oleh adanya 4T (4 Terlalu) yang salah satunya adalah "Terlalu Tua". Oleh karena itu, age sometimes does matter, doesn't it?! :)

Nah, mungkin karena itulah status seringkali dianggap sangat penting saat memasuki usia tersebut. Yah, saya sih sudah merasakan itu sejak lama, tapi ya bagaimana wong belum (eh, kok malah curcol, he he he). Tapi saya heran, banyak teman-teman saya di Australia tak terlalu ambil pusing akan hal ini, terlebih teman-teman wanita saya. Tetap saja saya pasti kepikiran...

So, intinya penekanan usia pada sebuah pernikahan tidak menjadi soal. Disebutkan bahwa yang penting sebenarnya dalah kesiapan fisik dan mental, yaitu mulai dari persiapan moral (kematangan visi keislaman), persiapan fisik, kepribadian, materi dan sosial. Oleh karena itu, (buat teman-teman yang masih single) jangan khawatir! Tanamkan saja agenda persiapan tersebut di dalam benak kita dan laksanakan semampu kita seraya menunggu. Perkara kapan dan di usia berapa, jawabannya kita serahkan sama Tuhan saja. Jadi, jika kamu berusia 27 tahun dan ditanya apa statusmu, bilang: TANYA SAJA SAMA TUHAN! He he he he :))

(Tulisan ini dibuat bukan dengan maksud menggurui ya, hanya memberikan motivasi saja buat teman-teman dan saya pribadi tentunya)

Semangat!

Saturday, March 21, 2015

MENJADI PENELITI UNTUK NEGERI



Saya saat menjadi penyaji poster ilmiah di sebuah Simposium Kesehatan Nasional

Meneliti adalah...
 Berusaha melihat lebih dekat,
Mendengar cerita lebih lama,
Mengamati lebih seksama,
Mencoba mengerti dengan logika, dan 
Menarik analisis sesuai dengan kondisi nyata.

-----------------------------------------------------------------------------------------

Assalamu'alaikum.

Adakah di antara kalian yang pernah mendengar apa itu profesi peneliti? Tahu nggak sih apa saja yang peneliti lakukan di dalam pekerjaannya?

Menurut saya, tak banyak yang mengetahui profesi ini sebenarnya. Orang awam sering mengira bahwa peneliti itu cenderung seperti Einstein. Penampilannya terlihat sangat 'nerd' alias kutu buku dan sibuk bereksperimen untuk menghasilkan sebuah penemuan. Hmm, pada dasarnya, tidak semua peneliti demikian lho. Peneliti tidak selalu identik dengan orang yang 'freak' akan ilmu, senang menyendiri dan tidak memperdulikan penampilan. Sebaliknya, [eneliti itu ternyata sebuah profesi yang menurut saya sangat mengasyikkan. Mengapa?


Memperkaya wawasan dan ilmu

” ….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58] : 11)

Selama lima tahun terakhir ini, saya menggeluti bidang penelitian kesehatan masyarakat. Banyak hal yang saya peroleh dengan menjadi seorang peneliti. Pertama, saya merasa ilmu saya semakin bertambah. Ilmu sebenarnya tidak hanya didapatkan melalui pendidikan formal, tetapi juga ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai lulusan S1 Kesehatan Masyarakat, saya mungkin dinilai sudah cocok menekuni profesi ini. Tapi, saya ternyata masih harus memiliki ilmu lain untuk menjadi seorang peneliti. Untuk menjadi seorang peneliti, saya dituntut harus mampu bekerja baik sebagai individu maupun sebagai tim. Peneliti harus memiliki rasa kekeluargaan dan kerja sama yang tinggi. 

Kedua, dengan melakukan penelitian memungkinkan seorang peneliti untuk terus belajar dan belajar. Penelitian membuka gerbang saya untuk belajar menganalisis fenomena dan masalah yang saya teliti, untuk selanjutnya saya jadikan sebagai ilmu baru. Jadi, peneliti sebenarnya dapat belajar dari hasil penelitian yang diperolehnya. Selain itu, seorang peneliti mungkin saja juga menemukan sesuatu yang menarik dan tidak pernah ada sebelumnya. Misalnya, penemuan vaksin HIV/AIDS. Hebat 'kan?! Oleh karena itu, saya senang berkarya sebagai peneliti. Saya banyak belajar keilmuan di luar ilmu dari latar belakang pendidikan saya. Saya belajar dari banyak peneliti-peneliti senior yang memiliki bidang keilmuan berbeda dari saya. Ketika saya diajak dalam sebuah penelitian mengenai pengendalian Demam Berdarah contohnya, saya juga belajar tentang ilmu biologi nyamuk dan ilmu kesehatan lingkungan dari mereka. Menarik bukan?

Saya bersama teman saya memeriksa perkembangbiakan jentik nyamuk 

Mengenal karakter orang dan lingkungan sekitar

Penelitian itu pada prinsipnya tidak selalu dilakukan di dalam ruangan tertutup, misalnya di laboratorium. Penelitian yang berbasis masyarakat seperti yang saya lakukan sebenarnya lebih banyak dilakukan di lapangan. Kalau kalian pernah melihat sales penjual barang yang suka berkeliling ke rumah-rumah, mungkin peneliti juga bisa dianalogikan demikian, he he he. Peneliti kesehatan masyarakat lebih banyak berinteraksi dengan manusia dan alam. Dari situ saya jadi tahu bagaimana harus menyesuaikan diri beradaptasi dengan lingkungan. 


Tim enumerator Riskesdas saya yang siap turun ke lapangan

Saya ingat beberapa tahun lalu meneliti bagaimana status kesehatan masyarakat di Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Tergabung dalam tim Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI, saya bersama tim enumerator saya bergerak menyusuri kampung dan desa yang ada di Kabupaten tersebut. Saya memasuki satu per satu rumah yang terdaftar sebagai sampel penelitian kemudian melakukan wawancara terhadap seluruh anggota keluarga di rumah-rumah tersebut. Sungguh saat itu, saya banyak memperoleh pelajaran. Saya tidak hanya harus bisa membaur dengan mereka, tetapi juga harus mampu berkomunikasi dengan baik. Saya mau tidak mau jadi bisa mengenal karakter orang, termasuk orang-orang yang ada tim penelitian saya.

Salah satu bagian di dalam sebuah penelitian: analisis data

Meningkatkan kreativitas dan inovasi

Menjadi peneliti itu dituntut harus bisa kreatif dan inovatif. Tapi bukan berarti saya itu orangnya sangat kreatif ya.. :) Nah, mengapa harus kreatif? Ide penelitian itu bisa sangat luas. Kita bisa meneliti dari hal yang kecil hingga yang besar sekali pun. Agar penelitian itu bisa menarik dan hasilnya bisa berguna bagi orang banyak, peneliti tentu saja harus bisa sekreatif mungkin menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah penelitian. Misalnya saja, penelitian tentang tanaman obat sebagai bahan dasar jamu. Orang mungkin banyak tahu beberapa jenis jamu yang umum dikonsumsi seperti jamu kunyit asam dan beras kencur, tetapi jika kita mau berinovasi, kita bisa menghasilkan jamu dari bahan dasar lain yang tentunya memiliki khasiat yang lebih banyak. Peneliti yang kurang kreatif mungkin terkesan tidak up-to-date dan cupu ya. Tapi itu benar lho! He he he. Jadi, kreativitas dan inovasi menjadi kunci penting bagi seorang peneliti.


Menjadi pribadi yang jujur,  berani dan tangguh

"Peneliti itu boleh salah, tapi tidak boleh bohong!"

Kata-kata di atas juga mencerminkan seorang peneliti lho! Hasil-hasil penelitian tentunya tidak selalu sempurna dan berhasil. Kadang peneliti bisa gagal menjawab tujuan dari penelitiannya. Maka dari itu, peneliti itu boleh saja salah. Penelitian itu 'kan proses interaksi orang yang meneliti dengan apa yang ditelitinya, jadi error atau kesalahan bisa saja terjadi. Dengan menjadi peneliti saya dituntut menjadi pribadi yang jujur, berani dan tangguh. Jujur terhadap proses dan hasil penelitian serta berani dan tangguh dalam menghadapi hambatan di dalam penelitian.

Bagi peneliti lapangan seperti saya, kendala lebih banyak datang dari luar. Akses geografi dan komunikasi yang sulit sering menjadi hambatan dalam kegiatan penelitian, contohnya jalan yang rusak, becek dan berlumpur, dan tidak adanya sinyal telepon. Bahkan jalan tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor, harus dilalui dengan berjalan kaki selama berjam-jam. Hal inilah sebenarnya yang mengasyikkan dari seorang peneliti. Kita jadi lebih mandiri dan siap dengan kondisi apa pun!

Salah satu kendala di lapangan, akses jalan yang rusak
Bekerja sambil berwisata

Nah, hal lain yang tak ketinggalan adalah kesempatan berwisata sambil bekerja. Mungkin kita sering mendengar pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Pepatah ini bisa berlaku bagi seorang peneliti. Mengapa? Penelitian yang dilakukan di banyak daerah di Indonesia memungkinkan saya untuk lebih mengenal tempat-tempat wisata yang ada di daerah-daerah tersebut. Saat di lapangan atau di waktu senggang, saya bisa sambil menikmati keindahan alam dan budaya masyarakat daerah setempat. Saya jadi semakin bersyukur dan mencintai Indonesia... :)

Nah, itu tadi sedikit pengalaman dan sharing saya tentang profesi sebagai peneliti. Tertarik untuk mengikuti jejak saya? 

Semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi teman-teman pembaca. Pada dasarnya, semua pekerjaan atau profesi itu menarik asalkan halal, bermanfaat dan membawa berkah bagi orang yang menjalankan dan orang lain di sekitarnya. Jadi, jalankan profesimu dengan rasa cinta dan keikhlasan maka kamu insyaa Allah akan berhasil!

Selamat berkarya!

Tulisan ini diikutsertakan dalam IHB Blog Post Challenge bulan Maret.

Tips Untuk Membuat Tamu Rumah Liburan Merasa Senang Di Rumah Anda

Pernahkah Anda memiliki perasaan tidak pasti bepergian ke suatu tempat untuk tinggal bersama keluarga yang tidak Anda kenal dengan baik? ...