KELAS INSPIRASI - BERBAGI PROFESI, BANGUNKAN MIMPI
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Halo semua!
Apakah cita-cita kalian saat di bangku sekolah dulu? Adakah di antara kalian yang ingin menjadi seorang dokter, hakim, polisi atau bahkan seorang presiden?
Saya yakin di antara kita semua pernah memiliki sebuah cita-cita. Cita-cita itu pun mungkin selalu kita serukan ketika di sekolah. Namun, saat itu, apakah pernah terpikir oleh kita, seperti apakah cita-cita kita tersebut di masa depan? Bagaimanakah seorang dokter itu? Apakah hanya sekedar mengobati pasien? Lantas, bagaimana dengan seorang polisi atau insinyur? Apakah pernah terbayangkan oleh kita bagaimana profesi tersebut? Apa saja yang dilakukan oleh seorang insinyur?
Hmm, jawabannya mungkin tidak! Kebanyakan dari kita semasa anak-anak mungkin belum sepenuhnya memahami profesi yang kita cita-citakan itu. Bagaimanapun juga, anak-anak tetaplah anak-anak, sebuah buku tanpa debu yang masih harus diisi oleh berbagai ilmu lewat tulisan yang digoreskan di dalamnya. Jadi marilah kita goreskan seberkas ingatan tentang cita-cita terhadap mereka (dalam hal ini profesi), agar nantinya mereka mampu bangunkan mimpi-mimpi besar di masa depan :)
MENGAJAR PROFESI SEHARI, MEMBANGUN MIMPI ANAK NEGERI
Tanggal 2 Mei 2016 lalu tidak hanya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, namun juga merupakan salah satu hari yang paling berkesan bagi saya. Pagi itu, saya dan ke-25 teman saya lainnya memberikan suasana yang berbeda di sebuah Sekolah Dasar (SD) di wilayah padat penduduk, Cilincing, Jakarta Utara. Hangatnya mentari menemani keseharian kami di SD tersebut sejak pagi hingga siang hari. Rutinitas tak biasa kami lakukan di sana yaitu mengajar... iya mengajar! Ah tapi tunggu, mungkin di antara kami ada yang terbiasa dengan rutinitas itu, tetapi tidak bagi saya dan banyak teman lainnya.
Tim relawan JKT 48 Kelas Inspirasi Jakarta 5 di antara ratusan relawan lainnya (Photo credit: Zara Zavira)
Seluruh relawan Kelas Inspirasi Jakarta 5 (Photo credit: Desriana Juvita)
Kami yang tergabung dalam Kelompok 48 Kelas Inspirasi Jakarta 5 pagi itu harus bersiap diri untuk menjadi guru sehari dan mengajar masing-masing profesi kami kepada para siswa di SDN Kalibaru 01 Pagi. Profesi kami pun bermacam-macam, mulai dari Sales Manager, Bankir, Art Director, Trainer, Engineer, Psikolog, Dokter Hewan, Perawat, Penulis hingga Konsultan Hukum. Mengajar mungkin bukanlah pekerjaan mudah bagi kebanyakan dari kami. Banyak hal yang tentunya harus dipersiapkan menjelang hari H, mulai dari lesson plan (rencana pengajaran), properti mengajar, jadwal hingga koordinasi bersama pihak sekolah. Dari 25 orang profesional yang datang, tidak semua menjadi tim relawan pengajar, empat di antaranya ambil bagian menjadi tim dokumentasi dan dua lainnya berperan sebagai fasilitator.
Penampakan halaman SDN Kalibaru 01 Pagi (Photo credit: Prasetyo)
Spanduk kegiatan Kelas Inspirasi menyambut para siswa (Photo credit: Prasetyo)
Dimulai dengan pelaksanaan upacara bendera, siswa terlihat begitu antusias oleh kedatangan kami. Lambaian dan sapaan para inspirator mengobarkan semangat dan rasa keingintahuan mereka. Satu per satu dari kami pun diperkenalkan, baik kepada guru maupun siswa. Kami kemudian mengajak mereka untuk masuk ke dalam kelas untuk memulai pengajaran. Para relawan pengajar yang berjumlah 19 orang terbagi ke dalam 3-4 kelas dan diberikan waktu 45 menit untuk satu kali mengajar. Di dalam kelas, kami tidak hanya menjelaskan kepada siswa tentang profesi kami masing-masing, tetapi juga mengajak mereka untuk berinteraksi dan ikut merasakan profesi yang kami jalani.
Senin itu saya kebetulan mendapat bagian mengajar empat kelas, yaitu kelas 2, 4, 5 dan 6. Sejak awal, saya sebenarnya sangat antusias mempersiapkan bahan ajar saya, tapi sejujurnya saya merasa kebingungan dan kesulitan dalam mengembangkan metode pengajarannya. Saya sendiri baru dapat membayangkan bagaimana saya akan mengajar nanti pada H-3. Metode mengajar pun saya coba susun sesimple mungkin tanpa meninggalkan esensi profesi yang ingin saya kenalkan kepada mereka, yaitu seorang peneliti. Uniknya, banyak dari mereka yang mengganggap peneliti itu adalah seorang ilmuwan, bahkan ada yang mengira tukang jahit. Mungkin meneliti agak sedikit mirip dengan kata 'peniti' he he he, who knows! Tapi yang pasti saya sangat tertantang selama mengajar di kelas, apalagi saat mengajar siswa kelas 2 yang memerlukan keahlian khusus menghadapi ributnya anak-anak, he he he.
Name tag relawan pengajar
Properti mengajar
Saya bersiap diri untuk menjadi guru sehari
Keseharian profesi saya yang sering terkait dengan data-data kesehatan memberikan saya ide untuk membuat semacam simulasi analisis data sederhana. Saya kebetulan menyiapkan seperangkat alat ukur antropometri (alat ukur tinggi badan dan berat badan) yang digunakan untuk menganalisis status gizi para siswa. Metode ini kebetulan hanya saya berikan kepada siswa kelas 4, 5 dan 6, sedangkan untuk siswa kelas 2 saya hanya ajak bermain menarik kesimpulan dari story card tentang penyakit diare yang saya bagikan kepada mereka, meskipun pada akhirnya mereka lebih banyak ribut dan bermain sendiri dengan kartu bergambar tersebut, he he he.
Di kelas 4, 5 dan 6, saya mencoba memulai sesi pengajaran di dalam kelas dengan perkenalan diri dan profesi, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang bagaimana lika-liku keseharian seorang peneliti. Simulasi analisis data pun lalu dimulai dengan membagi siswa ke dalam 9-10 kelompok. Dalam simulasi tersebut, saya ajak mereka untuk mengumpulkan data, yaitu data berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) teman sekelompok mereka. Di situ saya kembali membagi peran mereka masing-masing, ada yang menjadi peneliti dan ada yang menjadi responden dan diukur BB dan TB-nya. Nah, ketika itulah terjadi keributan dan kegaduhan dalam kelas. Mereka pun saling berebut untuk menjadi responden, tapi ada juga yang berebut ingin menjadi penelitinya. Namun, alhamdulillah, pada perjalanannya kelas bisa kembali kondusif.
Siswa yang bertindak sebagai peneliti kemudian mencatat BB dan TB teman satu kelompoknya yang menjadi responden. Setelah seluruh kelompok mencatat, saya kemudian mengajak mereka untuk menganalisis data tersebut. Analisis yang dilakukan yaitu dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) yang diperoleh dari rumus BB / TB x TB (dalam meter). Untuk mempercepat waktu, saya pun akhirnya membantu menghitung IMT seluruh kelompok satu persatu-satu menggunakan kalkulator lalu meminta mereka mencatatnya. Dari situ, saya kemudian meminta salah satu perwakilan dari masing-masing untuk memaparkan hasil perhitungan IMT-nya. Mereka pun terlihat sangat bersemangat saat menempelkan hasil pada sebuah diagram tally yang sengaja saya buat dari karton berukuran cukup besar. Hasil IMT masing-masing kelompok diumpamakan sebagai stiker post-it warna-warni.
Tugas mereka berikutnya adalah menginterpretasi hasil yang mereka peroleh dan memberikan kesimpulan yang dilihat dari jumlah stiker pada masing-masing kolom indikator status gizi yakni kurus, normal dan gemuk. Berdasarkan hasil yang didapat, terlihat bahwa dari seluruh kelas, rata-rata siswa memiliki status gizi normal dan beberapa di antaranya tergolong gemuk. Di antara mereka yang gemuk, paling banyak adalah siswa laki-laki. Setelah dijabarkan kesimpulan seperti itu, alhamdulillah mereka menjadi lebih paham bagaimana kerja peneliti itu. Mereka menjadi lebih bisa membayangkan bahwa peneliti menganalisis masalah-masalah kesehatan yang ada di lingkungan sekitar. Peneliti memerlukan ketelitian dalam bekerja, termasuk pada saat mengambil data, mengolah dan menyimpulkannya.
Selesai sesi pengajaran di dalam kelas, tim inspirator lalu membagikan awan cita-cita yang harus diisi oleh para siswa. Awan-awan tersebut kemudian akan mereka bawa pulang dan simpan di rumah sebagai pengingat bahwa pada hari itu mereka telah membangun sebuah mimpi untuk masa depan.... yaitu sebuah cita-cita yang akan mereka ingat sepanjang hayat mereka. Awan-awan tersebut juga diharapkan dapat mengingatkan mereka untuk terus belajar menggapai cita-cita yang telah mereka tuliskan. Tak lupa kami juga mengabadikan momen hari itu dengan berfoto bersama di lapangan. Teriknya matahari tak menyurutkan semangat siswa untuk menuangkan rasa bahagia mereka dengan teriakan dan jeritan yel-yel seraya berfoto. Ah... rindu rasanya saya ingin kembali ke sekolah itu, atau sekolah lain yang perlu saya tularkan semangat dan motivasi yang sama. Dengan begitu, saya berharap mereka dapat membangun mimpi mereka sedini mungkin.
Para siswa berbaris di lapangan untuk foto bersama sebelum pulang ke rumah masing-masing
Barisan siswa, guru dan relawan KI yang siap melakukan foto bersama (Photo credit: Jafar Fakhry)
Foto bersama dengan para guru (Photo credit: Jafar Fakhry)
Foto bersama dengan beberapa siswa (Photo credit: Jafar Fakhry)
Wajah-wajah bahagia para relawan KI setelah kegiatan selesai
Hmm... Saya sungguh bersyukur, setelah gagal saat melamar menjadi relawan inspirator Kelas Inspirasi yang pertama kali tahun 2015 lalu, tahun ini alhamdulillah saya diberikan kesempatan untuk mengajar di sebuah SD marginal di Jakarta. Sungguh pengalaman yang luar biasa! Di samping itu, saya juga memperoleh keluarga baru. Saya mengakui bahwa untuk menjadi relawan KI sama sekali tidak mudah. Ketulusan hati para relawan tercermin saat mempersiapkan segala sesuatunya selama 2 minggu, mulai dari briefing pertama dengan seluruh relawan di SCBD Jakarta, virtual meeting rutin di grup whatsapp, survei lapangan, kopi darat sekaligus temu diskusi hingga pertemuan-pertemuan informal lain yang dilakukan bersama.
Terima kasih kepada teman-teman tim relawan JKT 48 Kelas Inspirasi Jakarta 5, baik tim fasilitator, inspirator hingga dokumentasi yang tak jemu membangun kebersamaan hingga detik ini. Semoga Tuhan masih memberikan kita kesempatan untuk terus menularkan inspirasi kepada siswa SD di seluruh belahan bumi pertiwi! Sampai jumpa di Kelas Inspirasi berikutnya!
Cuplikan video 1 Kelas Inspirasi 5 JKT 48 yang spesial dibuat oleh tim dokumentasi
No comments:
Post a Comment