Wednesday, June 7, 2017

Berguru di Negeri Kincir Angin




Assalamu'alaikum.

Dua bulan vakum dari aktivitas blogging karena mengurus segala persiapan studi ke Belanda ternyata benar-benar membuat saya rindu setengah mati sama blog ini. Rasanya kok seperti ada yang hilang ya. Tekad saya untuk tetap menulis selama di sana pun pada kenyataannya kandas karena alasan kesibukan. Tiga minggu di Amsterdam memang terasa begitu melelahkan bagi saya. Tapi alhamdulillah-nya, rasanya semua terlewati begitu cepat. Kalau kata orang, itu tandanya saya bisa beradaptasi. Nggak tahu juga, mungkin ada benarnya, meskipun saya mengalami lagi yang namanya cultural shock

Selama di Belanda, saya mengikuti short course mengenai Sexual and Reproductive Health Rights Policy, Governance and Financing di sebuah perguruan tinggi di Amsterdam bernama Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), atau sering disebut dengan Royal Tropical Institute. KIT mungkin memang bukan salah satu perguruan tinggi yang memiliki rangking 50 besar dunia, tapi setelah saya googling, ternyata universitas ini memiliki reputasi yang mumpuni di dunia kesehatan internasional, terutama dalam bidang health system and development. KIT juga ternyata memiliki sejarah kerjasama yang cukup panjang dengan World Health Organisation (WHO) dalam berbagai proyek mengenai health system. KIT bahkan menjadi WHO Strategic Centre of Expertise untuk beberapa isu kesehatan, termasuk HIV dan AIDS, serta menjadi WHO Collaborating Centre for Research, Training and Development untuk bidang Human Resources of Health. 



Saya, saat baru pulang sekolah :)

Gedung KIT tampak dari depan

Suasana di dalam hall utama KIT yang sangat bergaya Eropa klasik


Teman-teman sekelas saya di program SRHR policy

Hari-hari saya saat menyelesaikan tugas akhir, ditemani secangkir kopi espresso

Ngomong-ngomong soal program studi, saya mengambil studi tentang kebijakan kesehatan karena tanpa diduga program studi yang saya apply di awal, yaitu Sexual and Reproductive Health Rights: Organising Effective Response tidak jadi dibuka. Qadarullah, semua mungkin sudah atas ijin Allah. Kurang lebih tiga bulan sebelum keberangkatan, pihak universitas tiba-tiba meng-email saya tentang perihal pembatalan tersebut. Rasa kecewa tentunya ada, tapi setelah pertimbangan yang cukup panjang, pada akhirnya saya menerima tawaran mereka untuk mengikuti program lain yang akan dilaksanakan di waktu yang sama. Alhamdulillah, pihak Stuned pun setuju dan tidak mempermasalahkan. Jujur saja, kebijakan kesehatan selama ini adalah topik yang tidak terlalu saya minati. Namun, yang membuat saya tertarik tak lain karena adanya mata kuliah mengenai analisis kebijakan dan penyusunan policy brief, yang saya yakini akan sangat berguna ketika saya kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai seorang peneliti.



Menariknya belajar di KIT adalah metode pembelajarannya yang menurut saya inovatif. Perkuliahan tidak hanya diisi oleh pembelajaran tatap muka antara dosen dengan mahasiswa, tetapi juga melalui metode lain seperti group quiz, debat, tutorial, role playing (atau bermain peran) dan journal club. Mau nggak mau, saya mesti mempersiapkan diri sebelum masuk ke kelas dan diusahakan sudah membaca terlebih dahulu materi-materi yang akan dibahas di dalam setiap sesi, khususnya saat sesi debat atau journal club. Tugas akhir yang diberikan pun adalah membuat policy brief yang sesuai dengan topik kesehatan reproduksi dan seksual. Dalam tugas ini, saya dan kawan-kawan tidak hanya diminta menyelesaikan policy brief kami masing-masing, tetapi juga harus memberikan feedback satu sama lain yang ternyata berguna sekali dalam proses penyempurnaan policy brief kami

Albert Cuyp market - open market di Amsterdam favorit saya yang hanya tutup pada hari Sabtu

Salah satu open market di kota Haarlem

Gluten-free stroopwafels yang saya temukan di pasar kaget di Haarlem

Salah satu toko yang menjual segala jenis produk gluten-free

Produk-produk bebas gluten yang dijual, mulai dari roti, tepung, biskuit, dll

Hidup di negeri orang memang selalu memiliki tantangan tersendiri. Meskipun hanya tinggal sebentar, saya juga perlu berdaptasi selama di Belanda - mulai dari mengenal bahasa dan kebiasaan warga lokal, menyesuaikan waktu tidur dan ibadah shalat, hingga mencari makanan yang ramah untuk orang Muslim seperti saya. Kendala bahasa saat berbelanja ke supermarket serta bersepeda layaknya warga lokal adalah dua contoh kesulitan yang sempat saya alami ketika baru tiba pertama kali di Amsterdam. Maklum, bahasa Belanda yang saya tahu hanya sebatas ucapan terima kasih, selamat pagi dan sampai jumpa, hehe. ๐Ÿ˜„. Di supermarket, misalnya, hampir seluruh produk makanan dan minuman dijual dalam bahasa lokal. Dengan berbekal kamus yang ada di ponsel, saya berusaha mengartikan kandungan bahan yang ada di dalam setiap produk agar tidak salah tafsir. Sebenarnya sebagian besar warga Belanda juga bisa berbahasa Inggris, namun tetap saja, ada hal-hal lucu dan sedikit 'menjengkelkan' yang terjadi karena kendala bahasa, seperti saat saya salah membeli hati ayam karena mengira sosis ayam, salah memilih kasir karena tak bisa membaca petunjuk bahwa kasir tersebut tidak menerima pembayaran cash, hingga gagal berbelanja di sebuah halal butcher yang penjualnya ternyata berkebangsaan Turki tapi sama sekali tak bisa berbahasa Inggris.๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜„.

Meski begitu, hal membahagiakan yang saya rasakan ketika tinggal di Belanda salah satunya adalah kemudahan menemukan produk makanan bebas gluten baik di supermarket maupun restoran di Amsterdam dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan di Indonesia. Meskipun saya harus melihat dari segi kehalalannya juga, tapi paling tidak saya bisa dengan aman mengkonsumsi berbagai macam roti dan makanan manis khas Belanda yang sarat akan gluten, contohnya stroopwafels, poffertjes dan pancake. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan sehari-hari warga Belanda untuk menikmati roti saat sarapan di pagi hari, baik menggunakan mentega dengan topping irisan keju, coklat meises (sprinkles), sirup ataupun selai. Menariknya, saya jadi bisa dengan mudah menemukan roti bebas gluten di kota ini, serta membeli berbagai bahan makanan seperti pasta dan tepung gluten-free di toko khusus yang menjual produk-produk tersebut. 

Rijksmuseum yang merupakan salah satu museum terbesar di kota Amsterdam

Amsterdal Centraal station, stasiun tersibuk di kota Amsterdam

Salah satu sudut pemukiman warga di kota Haarlem

Ciri khas bangunan rumah di kota Amsterdam, termasuk rumah terapung (houseboat)

Bangunan-bangunan yang didirikan di atas kanal di kawasan Damrak, layaknya bangunan di kota Venice
Weekend atau akhir pekan tentunya adalah saat yang ditunggu-tunggu untuk refreshing sambil melakukan plesiran ke kota-kota di sekitar Amsterdam. Meskipun tidak jadi mampir ke Lisse dan mengunjungi taman tulip di Keukenhof karena musim bunga yang sudah habis, alhamdulillah saya masih bisa berplesir ke beberapa kota di sekitar Amsterdam, seperti Haarlem, Volendam dan Zaandam. Kalau dihitung-hitung, Belanda sebenarnya memiliki banyak tempat wisata yang menarik. Kota Zaandam saja misalnya, memiliki sebuah desa kincir angin bernama Zaanse Schans, yang sekaligus menjadi tempat produksi coklat. Perjalanan menuju ketiga kota tersebut pun dapat ditempuh menggunakan bus atau pun kereta antar kota (intercity) dengan jarak tempuh tak kurang dari 1,5 jam. Bagi saya, mengelilingi Belanda dan berkunjung ke wilayah perdesaannya sudah sangat menyenangkan.

Kota Amsterdam sendiri sebenarnya juga menawarkan kegiatan wisata yang tak kalah menarik. Tercatat ada lebih dari 90 museum di kota Amsterdam. Beberapa di antaranya merupakan museum yang sudah mendunia, seperti museum Van Gogh, Anne Frank House, Rijks museum dan Royal Palace. Selain itu, Amsterdam memiliki kanal sepanjang lebih dari 100 km yang menjadikan kota ini dikenal dengan sebutan Venice of the North. Menyusuri kanal di Amsterdam menjadi salah satu kegiatan wisata yang wajib, lho! Untuk urusan belanja, Amsterdam juga memiliki sejumlah open market yang menjual berbagai macam barang kebutuhan, mulai dari sayur dan buah-buahan segar, boga bahari, pakaian, sepatu, barang kebutuhan rumah tangga hingga barang antik, dengan harga yang relatif terjangkau. Buah tangan atau souvenir khas Belanda juga bisa ditemukan dengan mudah. Open market ini layaknya pasar kaget di Indonesia, yang buka pada hari-hari tertentu. Pasar ini tentu bisa jadi pilihan bagi para shopaholic. 

Pemandangan kota Haarlem di sepanjang kanal

Wisata di sekitar Edam, Volendam dan Marken yang dapat dijangkau menggunakan bus dengan tiket harian

Suasana pedesaan di kota Broek in Waterland yang sangat asri dan menenangkan

Pemukiman warga di daerah pedesaan di kota Broek in Waterland

Kota nelayan yang sangat sibuk di Volendam

Suasana di kota Marken, terletak di pulau kecil yang berada di tenggara kota Volendam

Beberapa kincir angin yang terdapat di desa Zaanse Schans

***

Itu tadi sebagian cerita mengenai pengalaman saya saat berguru di negeri kincir angin, Belanda. Saya sekarang paham bahwa pengaruh kolonialisme Belanda terhadap Indonesia sungguh besar. Begitu pula sebaliknya, Indonesia juga memberikan banyak pengaruh pada sebagian budaya dan tradisi di negeri van oranje ini. Terbukti dari sejumlah makanan khas Indonesia yang telah menjadi makanan sehari-hari warga Belanda, bahkan sebagian dianggap makanan mewah karena harganya yang selangit. Namun demikian, saya akui Belanda memang negara yang nyaman untuk ditinggali. Tak heran kalau banyak sekali warga Indonesia yang menetap di sana.

Jadi, apakah kamu juga tertarik kuliah di Belanda? Ayo raih kesempatanmu untuk bisa meraih pendidikan di negeri oranye. Tak usah khawatir dengan biaya pendidikan karena kini sudah banyak beasiswa pendidikan ke Belanda yang disediakan bagi mahasiswa Indonesia, salah satunya beasiswa Stuned. Semoga cerita saya bisa menginspirasi teman-teman pembaca semua. Sampai jumpa di artikel saya berikutnya!


No comments:

Post a Comment

Tips Untuk Membuat Tamu Rumah Liburan Merasa Senang Di Rumah Anda

Pernahkah Anda memiliki perasaan tidak pasti bepergian ke suatu tempat untuk tinggal bersama keluarga yang tidak Anda kenal dengan baik? ...