Assalamualaikum.
Pasti kamu sangat mengenali sosok Ibu Kartini, seorang tokoh pejuang yang telah menginspirasi banyak perempuan Indonesia dan telah mempelopori kebangkitan emansipasi wanita. Ya, namanya begitu harum dan hari lahirnya selalu kita peringati setiap tahun. Tapi, tahukah kamu apa yang telah merenggut hidupnya sehingga dia harus meninggal di usia yang terbilang masih cukup muda yaitu 25 tahun?
Lahir sebagai keturunan bangsawan pada 21 April 1879, Kartini dikenal sebagai sosok perempuan yang pintar dan berjiwa sosialis. Beliau sangat memikirkan bagaimana nasib perempuan pribumi sebayanya yang kurang beruntung sepertinya. Banyak hal yang telah beliau perjuangkan demi memajukan kehidupan mereka, termasuk salah satunya buku fenomenal yang beliau tulis berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, yang merupakan kumpulan surat yang pernah beliau kirimkan ke teman-temannya di Eropa. Surat-surat tersebut merefleksikan pemikiran Kartini tentang kondisi perempuan pribumi pada saat itu, termasuk kondisi sosial mereka yang kemudian mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.
Menikah di usia 24 tahun tidak menghentikan semangat Kartini untuk mendorong kebangkitan kaum perempuan di sekitarnya. Dengan seizin suami, beliau pun mendirikan sekolah wanita di beberapa tempat, termasuk salah satunya di tempat kelahirannya, Rembang. Semangatnya tersebut pula lah yang menginspirasi W.R. Soepratman untuk menciptakan lagu nasional berjudul Ibu Kita Kartini, yang kini kerap dinyanyikan anak-anak di sekolah pada saat memperingati hari kelahiran Kartini.
Lantas, apa yang telah menghentikan perjuangan beliau?
Ibu Kartini meninggal pada usia 25 tahun akibat komplikasi persalinan yang dialaminya saat melahirkan putra pertama. Beliau mengalami preeklampsi yang merupakan salah satu penyebab kematian ibu tertinggi di Indonesia. Preeklampsi dikenali sebagai komplikasi kehamilan akibat tekanan darah tinggi yang kemudian memicu kerusakan organ di dalam tubuh (umumnya ginjal dan hepar). Satu-satu cara mengobati preeklampsi pada kehamilan memang dengan cara melahirkan si bayi. Tapi, umumnya banyak ibu yang kemudian berakhir dengan mengalami komplikasi saat bersalin lalu meninggal.
Ibu Kartini meninggal pada usia 25 tahun akibat komplikasi persalinan yang dialaminya saat melahirkan putra pertama. Beliau mengalami preeklampsi yang merupakan salah satu penyebab kematian ibu tertinggi di Indonesia. Preeklampsi dikenali sebagai komplikasi kehamilan akibat tekanan darah tinggi yang kemudian memicu kerusakan organ di dalam tubuh (umumnya ginjal dan hepar). Satu-satu cara mengobati preeklampsi pada kehamilan memang dengan cara melahirkan si bayi. Tapi, umumnya banyak ibu yang kemudian berakhir dengan mengalami komplikasi saat bersalin lalu meninggal.
Sebenarnya banyak kisah kontroversial tentang kematian Ibu Kartini, salah satunya ditampilkan dalam tulisan Kartini, Champagne and Maternal Mortality yang pernah ditulis oleh Julia Suryakusuma dalam harian The Jakarta Post dua tahun lalu. Namun, yang seharusnya menjadi perhatian kita semua adalah kematian beliau masih sangat umum terjadi di Indonesia hingga saat ini. Lalu, apakah kita harus membiarkan banyak "Kartini" lainnya yang mati sia-sia oleh karena penyebab yang sebenarnya dapat dicegah?
Data 2012 mencatat bahwa dari 100.000 kelahiran hidup ada lebih dari 300 kematian ibu akibat kehamilan dan persalinan yang terjadi di Indonesia (sumber: laporan SDKI 2012). Angka ini terus menerus dipantau sebagai salah indikator status kesehatan serta untuk melihat pencapaian program kesehatan ibu yang telah berjalan di tanah air.
Kematian ibu sungguh tragis dan seringkali kisahnya tertutup oleh maraknya berita perpolitikan tanah air. Padahal kematian ibu tidak harus sampai terjadi jika kompleksitas penanganannya bisa teratasi. Toh, ibu melahirkan adalah hal yang normal dan akan terus kerap terjadi hingga sudah tidak ada lagi manusia di bumi ini. Jadi, jika ada satu ibu yang meninggal akibat kehamilan atau persalinannya, seharusnya kita perlu serius berkaca! Tidak kasihankah kita kepadanya?!
Seorang ibu sudah terlalu lelah membawa beban janin yang ada di dalam tubuhnya selama kurang lebih 9 bulan, kemudian dia harus dihadapkan kembali pada keputusan hidup dan mati pada saat persalinan yang seringkali dianggap sebagai takdir yang harus diterima? Andai saja ibu-ibu tersebut bisa memlih, mereka akan memilih untuk bisa bersalin secara sehat dan aman. Tapi pilihan terkadang tak memihak dan mereka sekali lagi harus pasrah terhadap keadaan akan tidak adanya transportasi untuk bersalin, tidak adanya tenaga kesehatan terlatih atau fasilitas persalinan yang mumpuni.
Apakah kita akan terus membiarkan hal tersebut terjadi?
Kartini adalah simbol emansipasi wanita di Indonesia. Tapi, jangan biarkan beliau juga merupakan simbol dari jutaan perempuan Indonesia yang masih sia-sia meninggal secara tragis saat melahirkan. Mari sama-sama kita berjuang menyelamatkan 'Kartini' Indonesia!
Selamat Hari Kartini!
No comments:
Post a Comment